TUGAS MIKROBIOLOGI
“PEMINDAHAN BAHAN
GENETIK PADA MIKROBA”
KADEK SANDIASA
102 2014 005
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN
(STIP) YPP MUJAHIDIN TOLITOLI 2015
a.
Konjugasi
Kelemahan
reproduksi aseksual untuk bakteri adalah bahwa karena menjadi identik secara
genetik, mereka semua rentan terhadap faktor lingkungan yang sama. Untuk
mengatasi hal ini, evolusi telah memasukkan beberapa faktor yang bakteri
gunakan untuk membuat variasi genetik. Salah satu metode utama adalah
konjugasi, yang memungkinkan bakteri untuk mentransfer bagian dari gen mereka
ke bakteri yang lain ketika mereka kontak. Ketika bakteri melakukan konjugasi,
mereka memanfaatkan struktur yang dikenal sebagai “pilus” untuk mentransfer gen.
b.
Transformasi
Transformasi
adalah rekombinasi gen yang terjadi melalui pengambilan langsung
sebagian materi gen dari bakteri lain, yang dilakukan oleh suatu sel bakteri.
Bakteri yang mampu melakukan transfonmasi secara alamiah, yaitu bakteri-bakteri
yang dapat memproduksi enzim khusus, antara lain Rhizobium, Streptococcus,
Neisseria, Pneumococcus, dan Bacillus.
Dalam teknologi rekayasa gen, bakteri yang tidak dapat melakukan transformasi
secara alamiah dapat dipaksa untuk menangkap dan memasukkan suatu plasmid
rekombinan ke dalam selnya dengan cara memberikan kalsium kiorida atau melalui
suatu proses yang disebut kejut-panas (heat shock)
Teknik umum lainnya dalam
mengubah DNA yang digunakan dalam hubungannya dengan pembelahan biner adalah
“transformasi.” Dengan menggunakan transformasi, bakteri dapat mengambil DNA
dari lingkungan. Biasanya, transformasi dilakukan oleh bakteri hidup mengambil
DNA dari sel-sel bakteri mati, diikuti oleh bakteri mengikat DNA tua,
mengangkut di atas membran. Sel bakteri kemudian menggabungkan DNA baru,
menciptakan, sel bakteri baru berubah yang kemudian mengalami pembelahan biner
untuk menghasilkan jenis bakteri unik secara genetik dibandingkan dengan yang
asli.
c.
Transduksi
Transduksi
adalah rekombinasi gen antara dua sel bakteri dengan menggunakan virus fag.
Virus fag yang telah menginfeksi suatu bakteri pada daur litik maupun lisogenik
akan mengandung partikel DNA bakteri. Bila virus fag tersebut menginfeksi
bakteri lainnya, maka terjadilah rekombinasi gen pada bakteri-bakteri yang
terinfeksi fag. Virus fag temperat (virus yang dapat bereproduksi secara litik
maupun lisogenik) merupakan virus yang paling cocok untuk proses transduksi.
Transduksi adalah salah satu
jenis yang paling rumit dari pertukaran DNA yang terjadi. Jenis rekombinasi
bakteri melibatkan bakteriofag, yang bertindak sebagai virus yang menginfeksi
sel bakteri. Ketika bakteriofag menempel pada sel bakteri, itu menyisipkan bit
DNA ke dalam bakteri dan bertindak sebagai parasit. Virus ini kemudian
memanfaatkan enzim dalam sel bakteri untuk mereplikasi, melisiskan atau
membelah sel bakteri.
Kunci yang memungkinkan
transduksi untuk mengubah DNA bakteri adalah bahwa selama replikasi dari bakteriofag,
beberapa bakteri inang sering dimasukkan ke dalamnya. Ketika bakteriofag
dimodifikasi menginfeksi bakteri baru, DNA ini kemudian dapat diteruskan dengan
digabungkan.
NAMA :
KADEK SANDIASA
NPM :
1022014005
PRODI :
AGROTEKNOLOGI
TUGAS :
MIKROBIOLOGI 1
A. MACAM-MACAM PEWARNAAN DEFERENSIAL
PADA BAKTERI
1.
Pewarnaan Gram
Metode
Gram
adalah salah satu teknik pewarnaan yang paling penting dan luas yang digunakan
untuk mengidentifikasi bakteri. Dalam proses ini, olesan bakteri yang sudah
terfiksasi dikenai larutan-larutan berikut : zat pewarna kristal violet,
larutan yodium, larutan alkohol (bahan pemucat), dan zat pewarna tandingannya
berupa zat warna safranin atau air fuchsin. Metode ini diberi nama berdasarkan
penemunya, ilmuwan Denmark
Hans Christian Gram (1853–1938) yang
mengembangkan teknik ini pada tahun 1884
untuk membedakan antara pneumokokus
dan bakteri Klebsiella
pneumoniae.
Bakteri
yang terwarnai dengan metode ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri
Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif. Bakteri Gram positif akan mempertahankan
zat pewarna kristal violet dan karenanya akan tampak berwarna ungu tua di bawah
mikroskop. Adapun bakteri gram negatif akan kehilangan zat pewarna kristal
violet setelah dicuci dengan alkohol, dan sewaktu diberi zat pewarna
tandingannya yaitu dengan zat pewarna air fuchsin atau safranin akan tampak
berwarna merah. Perbedaan warna ini disebabkan oleh perbedaan dalam struktur
kimiawi dinding selnya.
Pewarnaan
Gram
atau metode Gram adalah salah satu teknik pewarnaan yang paling penting
dan luas yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri. Dalam proses ini,
olesan bakteri yang sudah terfiksasi dikenai larutan-larutan berikut : zat
pewarna kristal violet, larutan yodium, larutan alkohol (bahan pemucat), dan
zat pewarna tandingannya berupa zat warna safranin atau air fuchsin. Metode ini
diberi nama berdasarkan penemunya, ilmuwan Denmark
Hans Christian Gram (1853–1938) yang
mengembangkan teknik ini pada tahun 1884
untuk membedakan antara pneumokokus
dan bakteri Klebsiella
pneumoniae. Bakteri yang terwarnai dengan metode
ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram
Negatif. Bakteri Gram positif akan mempertahankan zat pewarna kristal violet
dan karenanya akan tampak berwarna ungu tua di bawah mikroskop.
Adapun
bakteri gram negatif akan kehilangan zat pewarna kristal violet setelah dicuci
dengan alkohol, dan sewaktu diberi zat pewarna tandingannya yaitu dengan zat
pewarna air fuchsin atau safranin akan tampak berwarna merah. Perbedaan warna
ini disebabkan oleh perbedaan dalam struktur kimiawi dinding selnya.
2. Pewarnaan BTA
Bakteri
tahan asam adalah bakteri yang mempertahankan zat warna karbol-fuchsin (fuchsin
basayang dilarutkan dalam suatu campuran phenol-alkohol-air) meskipun dicuci
dengan asam klorida dalam alkohol. Sediaan sel bakteri pada gelas alas disiram
dengan cairan karbol fuchsin kemudian dipanaskan sampai keluar uap. Setelah
itu, zat warna dicuci dengan asam alkohol dan akhirnya diberi warna kontras
(biru atau hijau).
Bakteri-bakteri
tahan asam (spesies Mycobakterium dan beberapa Actinomycetes yang serumpun)
berwarna merah dan yang lain-lain akan berwarna sesuai warna kontras.
Mycrobakteria adalah bakteri aerob berbentuk batang, yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarnai bakteri ini tahan terhadap penghilangan warna (deklorisasi) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil tahan asam. Ciri –ciri khas Mycobakterium tuberculosis dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira 0,4 x 3 µm. Pada perbenihan buatan terlihat bentuk coccus dan filamen.
Mycrobakteria adalah bakteri aerob berbentuk batang, yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarnai bakteri ini tahan terhadap penghilangan warna (deklorisasi) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil tahan asam. Ciri –ciri khas Mycobakterium tuberculosis dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira 0,4 x 3 µm. Pada perbenihan buatan terlihat bentuk coccus dan filamen.
Mycobakteria tidak dapat diklasifikasikan
sebagai gram positif atau gram negatif. Sekali diwarnai dengan zat warna basa,
warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan alkohol, meski dibubuhi dengan
iodium. Basil tuberkel yang sebenarnya ditandai oleh sifat tahan asam misalnya
95 % etil alkohol yang mengandung 3 % asam hidroklorida (asam alkohol) dengan
cepat akan menghilangkan warna semua bakteri kecuali Mycobakteria. Sifat tahan
asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin. Pada dahak atau
irisan jaringan, Mycobakteria dapat diperlihatkan karena memberi fluoresensi
kuning jingga setelah diwarnai dengan zat warna fluorokrom (misalnya auramin,
rodamin).
3. Pewarnaan spora
Beberapa spesies bakteri
tertentu dapat membentuk spora. Spora dihasilkan di dalam tubuh vegetatif
bakteri tersebut, dapat berada di bagian tengah (central), ujung (terminal)
ataupun tepian sel. Pelczar (1986), menyatakan bahwa spora merupakan tubuh
bakteri yang secara metabolik mengalami dormansi, dihasilkan pada faselanjut
dalam pertumbuhan sel bakteri yang sama seperti asalnya, yaitu sel vegetatif.
Spora bersifat tahan terhadap tekanan fisik maupun kimiawi.
Santoso (2010) menyebutkan
bahwa ada dua genus bakteri yang dapat membentuk endospora, yaitu genus
Bacillus dan genus Clostridium.Strukturspora yang terbentuk di dalamtubuh
vegetative bakteri disebut sebagai ‘endospora’ (endo=dalam, spora=spora) yaitu
spora yang terbentuk di dalam tubuh. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
endospora merupakan sel yang mengalami dehidrasi dengan dinding yang mengalami
penebalan serta memiliki beberapa lapisan tambahan.
Dengan adanya kemampuan untuk membentuk spora
ini, bakteri tersebut dapat bertahan pada kondisi yang ekstrim.Menurut Pelczar
(1986) bakteri yang dapat membentuk endospore ini dapat hidup dan mengalami
tahapan-tahapan pertumbuhan sampai beberapa generasi, dan spora terbentuk
melalui sintesis protoplasma baru di dalam sitoplasma sel vegetatifnya.
Menurut Volk & Wheeler (1988), dalam
pengamatan spora bakteri diperlukan pewarnaan tertentu yang dapat menembus
dinding tebal spora. Contoh dari pewarnaan yang dimaksudkan oleh Volk &
Wheeler tersebut adalah dengan penggunaan larutan hijau malakit 5%, dan untuk
memperjelas pengamatan, sel vegetative juga diwarnai dengan larutan safranin
0,5% sehingga sel vegetative ini berwarna merah. Dengan demikian ada atau
tidaknya spora dapat teramati, bahkan posisi spora di dalam tubuh sel
vegetative juga dapat diidentifikasi.Namun
ada juga zat warna khusus untuk mewarnai spora dan di dalam proses pewarnaannya
melibatkan treatment pemanasan, yaitu; spora dipanaskan bersamaan dengan zat
warna tersebu tsehingga memudahkan zat warna tersebut untuk meresap ke dalam
dinding pelindung spora bakteri.
Beberapa zat warna yang telah disebutkan di atas,
dapat mewarnai spora bakteri, tidak lepas dari sifat kimiawi dinding spora itu sendiri.Semua spora bakteri mengandung asam dupikolinat.Yang mana subtansi ini tidak dapat
ditemui pada sel vegetatif bakteri, atau dapat dikatakan, senyawa ini khas
dimiliki oleh spora.Dalam proses
pewarnaan, sifat senyawa inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk di warnai
menggunakan pewarna tertentu, dalam hal ini larutan hijau malakit. Sedangkan
menurut pelczar (1986), selain subtansi di atas, dalam spora bakteri juga
terdapat kompleks Ca2+dan asam dipikolinan peptidoglikan.
Proses pembentukan spora disebut sprorulasi, pada
umumnya proses ini mudah terjadi saat kondisi medium biakan bakteri telah
memburuk, hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa, sampel yang diambil dalam
praktikum ini berasal dari biakan bakteri yang dibuat beberapa minggu yang
lalu, sehingga di asumsikan, nutrisi di dalam medium telah hampir habis,
sehingga diharapkan bakteri melakukan proses sporulasi ini. Haapan ini terbukti
benanr dengan kenyataan bahwa dari kedua sampel yaitu koloni 1 dan koloni 2,
keduanya sama-sama menghasilkan spora.
Namun menurut Dwijoseputro (1979) beberapa
bakteri mampu membentuk spora meskipun tidak dalam keadaan ekstrem ataupun
medium yang kurang nutrisi. Hal ini dimungkinkan karena bakteri tersebut secara
genetis, dalam tahapan pertumbuhan dan perkembangannya memang memiliki satu
fase sporulasi. Masih menurut Dwijoseputro (1979) jka medium selalu diadakan
pembaruan dan kondisi lingkungan disekitar bakteri selalu dijaga kondusif,
beberapa jenis bakteri dapat kehilangan kemampuannya dalam membentuk spora. Hal
ini dimungkinkan karena struktur bakteri yang sangat sederhana dan sifatnya
yang sangat mudah bermutasi, sehingga perlakuan pada lingkungan yang terus
menerus dapat mengakibatkan bakteri mengalami mutasi dan kehilangan
kemampuannya dalam membentuk spora.
Proses pembentukan spora di dalam sel vegetatif
bakteri, terjadi dalam beberapa tahapan, secara singkat bagan proses
pembentukan spora bakteri di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
·
Terjadi kondensasi DNA pada bakteri yang akan
membentuk spora
·
Terjadi pembalikan membran sitoplasma, sehingga,
lapisan luar membran kini menjadi lapisan dalam membran (calon) spora.
·
Pembentukan korteks primordial (calon korteks)
·
Pembentukan korteks
·
Spora terlepas dan menjadi spora yang bebas,
pada tahap 5 ini,jika spora mendapatkan lingkungan yang kondusif, maka ia bisa
tumbuh menjadi satu sel bakteri yang baru. (sumber: FMIPA UPI)
Spora bakteri ini dapat bertahan sangat lama, ia dapat
hidup bertahun-tahun bahkan berabad-abad jika berada dalam kondisi lingkungan
yang normal. Kebanyakan sel vegetatif akan mati pada suhu 60-70oC, namun spora
tetap hidup, spora bakteri ini dapat bertahan dalam air mendidih bahkan selama
1 jam lebih. Selama kondisi lingkungan tidak menguntungkan, spora akan tetap
menjadi spora, sampai kondisi lingkungan dianggap menguntungkan, spora akan
tumbuh menjadi satu sel bakteri yang baru dan berkembangbiak secara normal
(Volk & Wheeler, 1988).
4. Pewarnaan
Granula
Di dalam sitoplasma
dapat ditemukan granula metakhromatikyang terdiri atas volutin,granula glikogen
serta granula lemak. Granula metakhromatik sering ditemukan pada jenis-jenis
kuman patogen tertentu dan berbentuk khas untuk kuman tersebut. Di dalam sitoplasma
dapat ditemukan granula metakhromatik yang tersebut di dalam sediaan
mikroskopik.
Misalnya kuman difteri mempunyai granula metakhromatik karena bila diwarnai dalam sediaan, granula tersebut akan berwarna lain dari pada zat warna yang digunakan. Misalnya bila diwarnai sediaan kuman difteri dengan zat warna biru metilen,granula Babes-Ernst akan berwarna coklat tua.
Misalnya kuman difteri mempunyai granula metakhromatik karena bila diwarnai dalam sediaan, granula tersebut akan berwarna lain dari pada zat warna yang digunakan. Misalnya bila diwarnai sediaan kuman difteri dengan zat warna biru metilen,granula Babes-Ernst akan berwarna coklat tua.
Pada spesies kuman
tertentu, granula metakhromatik terletak pada tempat-tempat khas di dalam sel
kuman.
Disamping material nukleus, sitoplasma bakteri mungkin mengandung inklusi sel-kepingan-kepingan kecil material yang tidak menjadi bagian utuh struktur sel. Butiran khusus ini yang rupanya bertindak sebagai sumber fosfat dan energi disebut butiran metakromat karena akan menyerap warna merah apabila diwarnai dengan biru metilen. Butiran metakromat disebut juga kolektif volutin.
Pewarnaan Granula dapat dilakukan dengan metode selain Neisser yaitu :
Disamping material nukleus, sitoplasma bakteri mungkin mengandung inklusi sel-kepingan-kepingan kecil material yang tidak menjadi bagian utuh struktur sel. Butiran khusus ini yang rupanya bertindak sebagai sumber fosfat dan energi disebut butiran metakromat karena akan menyerap warna merah apabila diwarnai dengan biru metilen. Butiran metakromat disebut juga kolektif volutin.
Pewarnaan Granula dapat dilakukan dengan metode selain Neisser yaitu :
· Metode
Albert’s
· Metode
Much Weis (Mycobacterium tuberculose).
B. KLASIFIKASI BAKTERI BERDASARKAN ALAT GERAKNYA
Pada umumnya bakteri bergerak
menggunakan flagel, akan tetapi ada juga bakteri yang tidak memiliki flagel (atrik).
Flagel sendiri merupakan serabut halus yang dimiliki bakteri dan berfungsi
sebagai alat gerak.
A D
B
C
E
A = ATRIK B = MONOTRIK C =
LOPOTRIK D = AMPITRIK
E = PERETRIK
Pengelompokan
bakteri kali ini didasarkan pada berapa banyak flagel yang dimiliki oleh
bakteri sebagai alat geraknya. Berikut ini pengelompokannya:
·
Kelompok
bakteri monotrik
Pada kelompok monotrik ini, bakteri hanya memiliki satu flagel saja
sebagai alat gerak bakteri tersebut yang terdapat pada bagian ujung sisi
tubuhnya. Sebagai contoh yaitu bakteri pseudomonas aeruginosa yang hanya
memiliki satu flagel saja di bagian sisi tubuhnya sebagai alat geraknya.
Gambar
Bakteri pseudomonas aeruginosa dengan satu flagel di sisi ujung
tubuhnya
|
·
Kelompok
bakteri lofotrik
Pada
pengelompokan bakteri lofotrik ini, alat gerak yang dimiliki jumlahnya lebih
dari satu dan hanya terdapat di salah satu sisi tubuh dari bakteri ini.
Contohnya seperti pada bakteri pseudomonas fluorescens dimana bakteri
ini memiliki alat gerak lebih dari satu di salah satu sisi tubuhnya.
Gambar bakteri pseudomonas fluorescens dengan
flagel lebih dari satu di salah satu sisi tubuhnya
|
·
Kelompok
bakteri amfitrik
Sama halnya dengan kelompok lofotrik, pada kelompok
amfitrik jumlah flagel yang dimiliki bakteri lebih dari satu, hanya saja ada
perbedaan antara kelompok lofitrik dan kelompok amfitrik, dimana pada kelompok
bakteri lofotrik flagelnya hanya terdapat di salah satu sisi tubuh bakteri,
sedangkan pada kelompok amfitrik, flagelnya terdapat di kedua sisi ujung
bakteri. Sebagai contohnya yaitu bakteri aquaspirillum serpens, pada
bakteri ini, flagel yang dimiliki jumlahnya lebih dari satu dan berada di kedua
sisi ujung bagian tubuhnya.
Gambar bakteri aquaspirillum serpens dengan flagel
pada kedua sisi tubuhnya yang berfungsi sebagai alat gerak
|
Pada
kelompok peritrik ini umumnya bakteri memiliki flagel di seluruh permukaan tubuhnya
sebagai alat gerak mereka. Contohnya yaitu pada bakteri salmonela typhosa
dimana bakteri ini memiliki flagel hampir diseluruh tubuhnya yang berfungsi
sebagai alat geraknya.
Gambar bakteri salmonela typhosa dengan flagel diseluruh tubuh sebagai alat
geraknya
Perlu kita
ketahui juga bahwa pengelompokan bakteri tidak hanya berdasarkan alat geraknya
saja, akan tetapi ada juga hal-hal lain yang digunakan sebagai acuan
pengelompokan bakteri seperti:
- Berdasarkan cara bagaimana memperoleh makanan, yaitu heterotrof & juga yang autotrof.
- Berdasarkan kebutuhan akan oksigen maka dibedakan lagi menjadi bakteri anaerob dan aerob.
- Berdasarkan alat geraknya seperti yang sedang kita bahas saat ini, ada yang memiliki alat gerak berupa flagel ada juga yang tidak berflagel (artrik).
- Pengelompokan berdasarkan bentuknya ada yang berbentuk bola, batang, juga spiral.